Wednesday 29 April 2009

The Bitch and The Beast

Long-long ago there was a bitch. She was a famous bitch in her country, not only that she was beautiful and rich. Tetapi semua orang menjauhinya. Dia merasa hal itu sangat pantas karena she was dirty. Dia sering menangis di malam hari, seorang diri. Dia terpaksa menjadi bitch because her families juga merupakan kumpulan bitch.

Malam itu dia kembali menangis, terus-menerus sampai akhirnya tertidur. Dia bermimpi melihat the beast sedang dijauhi dan diejek oleh semua orang hanya karena dia buruk rupa. The bitch memandang the beast dengan perasaan iba, the beast juga balik memandangnya. Seketika itu juga dia bangun dari tidurnya.

Keesokan harinya terdengar kabar bahwa di negeri seberang ada tinggal the beast yang sangat buruk rupa dan menakutkan sesuai dengan namanya. The beast hidup menyendiri tidak ada orang yang mau dan berani menemuinya karena menurut mereka the beast sadis seperti wajahnya. Mendengar kabar itu the bitch memutuskan untuk menemui the beast. Dia bertanya ke semua orang tentang the beast walau dia harus mendapat banyak cercaan.
Setelah menemukan tempat tinggal the beast di negeri seberang, the bitch sangat terkejut. Di hadapannya berdiri rumah yang sangat megah seperti rumahnya sendiri begitu pun halaman rumahnya yang sangat luas. Ketika dia masih dalam keadaan yang terkagum-kagum sekaligus masih terkejut datanglah seseorang
berkerudung dan berjubah hitam dari dalam rumah.

"Siapa yang kau cari?" tanya orang tadi dingin tanpa menyuruh the bitch masuk ke pekarangan rumahnya. The bitch yang sudah buyar dari keterkejutannya langsung menjawab, "The beast, saya mencarinya."
"Urusan apa?" tanya orang itu lagi. Sesekali the bitch berusaha melihat wajah di balik kerudung itu.
"Saya ingin berteman dengannya," jawabnya mantap.
"Pulanglah!!!" bentak orang itu kasar lalu cepat-cepat membalikkan badannya.
"Tunggu, apa benar ini tempat tinggal the beast?! Saya benar-benar ingin berteman dengannya!" desak the bitch.
"Pulanglah!! Kau tidak akan mau berteman dengannya!!," bentak orang itu lagi.
"Kenapa?!!" tanya the bitch marah.
Orang itu membalikkan badannya lagi menghadap the bitch. Dia lalu membuka kerudungnya. "Karena aku the beast," katanya. Tampaklah wajah yang sangat buruk rupa sama seperti yang dibicarakan orang selama ini. Wajahnya terlihat sedih.
The bitch tidak terkejut, dia mendekat dan menyentuh wajah the beast dari balik pintu gerbang. "Apa kau mau menjadi temanku?" tanya the bitch lembut. The beast terharu mendengarnya.

Sejak itu the bitch dan the beast menjadi akrab, mereka menceritakan masalahnya masing-masing. The bitch merasa senasib dengan the beast begitu juga sebaliknya, hanya karena beda faktor saja mereka dikucilkan. Orang yang mempunayai penderitaan yang sama dengan the bitch lah yang paling mengerti dia, dan orang itu adalah the beast . The bitch selalu menemui the beast, dia tidak peduli walau akhirnya diusir keluarganya karena dia dianggap membawa penyakit dari the beast.
The bitch akhirnya tinggal bersama the beast. Mereka falling in love and then marriage. Meskipun the beast tidak berubah menjadi pangeran tampan seperti cerita 'Beauty and The Beast' namun cinta mereka tetap abadi sampai istirahat mereka yang damai .

Kenangan yang tersisa dari mereka di dunia ini hanya sebuah puisi yang dibuat the bitch untuk the beast saat mereka menikah,

'People think that your face is your reflection
with that face you cry, with that body you angry

People think that you face is your personality
with that face you insult youself, with that body you hurt yourself

People think that outside is better than inside
with that fate you hide yourself, with that deed you hate everyone

People think that you are a junk
with that fate you act as no soul, with that deed you dig your own grave

People think that you are cursed
with that big talk you act like an evil, with that rubbish you hate God

Your pain is my pain. Your sighs are my sighs. Their gibes are my gibes too

People think that we are diseases
with that destiny we met, with that comparison we love each other... Forever'

Tuesday 21 April 2009

Papua's Blackforest (II)


Hari esok datang begitu pula dengan semangatku yang telah hilang kini mulai bangkit. Ini mungkin gara-gara Vincent. Aku mulai berangkat lebih awal seperti biasa diantar Pak Suplir, supir keluarga kami yang setia. Pak Suplir juga selalu menghiburku bila sedang sedih akibat ulah teman-temanku.

Sesampainya di sekolah segera kulangkahkan kakiku menuju kelas XI-IA3 kelasnya Vincent. Kosong, hanya meja-kursi yang ada. Kulihat sekelilingku tidak ada orang sama sekali. “Plak” kupukul dahiku pelan setelah melihat jam dinding baru menunjukkan pukul 06.00. Aku berangkat terlalu pagi. Untuk menghabiskan waktu kubaca buku Biologi bab “Virus” di kelasku X-5. Karena terlalu asyik membaca aku tidak mendengar bel masuk sudah berbunyi mendadak kelas sudah dipenuhi anak-anak. Belum bisa menemui Vincent deh batinku.

“Papua, bisa tolong Ibu ambilkan buku di kantor guru?” pinta Bu Maria guru yang mengajar pelajaran pertama di kelasku.
Sebenarnya aku malas harus melewati kelas-kelas lain untuk ke kantor guru, tapi karena kembali teringat Vincent kuterima perintah Bu Maria dengan senang hati. Ketika melewati kelas XI-IA3 pandanganku langsung tertuju ke salah satu anak yang duduk sendiri di pojok belakang dekat jendela. Anak itu tidak lain adalah Vincent. Menurutku Vincent pasti orang yang pendiam dan penyendiri, dia lebih senang duduk sendiri.
“Hai,” sapaku saat kutemui dia di kelasnya waktu istirahat. Vincent terlihat senang sekali, tanpa banyak bicara dia langsung menyuruhku duduk di bangku sebelahnya yang kosong.
“Kenapa kamu duduk sendiri?” kulihat ada beberapa anak yang duduknya juga sendiri.
“Ingin sendiri saja,” jawabnya.
Entah kenapa rasanya aku ingin menceritakan semua masalahku kepada orang yang baru kukenal kemarin ini. Aku merasa percaya sekali pada Vincent.
“Vincent” “Papua” Lagi-lagi kami berbicara secara bersamaan.
“Kau dulu saja,” kata Vincent menyilahkan.
“Ehm, baiklah. Aku.. aku.. merasa dikucilkan di sini,” kataku terbata-bata.
“Semua mengejekku hanya karena aku berbeda dari yang lain. Memang apa salahnya dengan orang Papua, kan sama-sama orang Indonesia. Mereka menyebalkan seakan-akan menanggap dirinya yang paling sempurna. Kulit putih, hidung mancung, rambut lurus apa mereka melihat seseorang dari fisiknya dulu? Aku benar-benar kesepian tidak mempunyai teman sama sekali dan hampir putus harapan saat di sini. Sekarang pun mereka masih seperti itu kemarin aku diejek kribo norak, apa aku sejelek itu?” suaraku mulai mengecil. Kulirik Vincent sebentar, dia mendengarkan dengan seksama.
“Dikucilkan..itu memang menyakitkan,” suaranya ikut mengecil. Sekejap kulihat wajahnnya juga terlihat sedih.
“Ehm, kalau jadi kamu pasti enak tidak pernah diperlakukan seperti itu. Dimana-mana orang timur seperti kami kadang diremehkan,” keluhku sambil tersenyum sedikit.
“Siapa bilang?” Tanya Vincent spontan. “Kalau boleh jujur dari kecil aku sudah sangat menyukai Papua. Menurutku alam di Papua menakjubkan penduduknya mau merawatnya tidak seperti di sini, selain itu orang-orangnya pintar mengenali alam, adatnya juga menarik. Aku paling suka budaya “Bakar Batu” Sayangnya sekarang ini di Papua sering terjadi kerusuhan padahal aku sudah bercita-cita ingin pindah ke Papua. Aku ingin sekali melihat salju di puncak Gunung Jaya Wijaya.” Aku terkejut mendengar kata-kata Vincent.
“Ya, memang sedih rasanya. Aku hanya bisa berdoa semoga di sana kembali damai,” kataku.
“Kau tidak jelek saat memakai gaun merah. Kau seperti… Black Forest, hitam manis dengan ceri,” Vincent tertawa sebentar. Aku hanya melihatnya dengan heran. “Rambut kribo seperti itu juga punya manfaat, kan saat kau berenang rambutmu cepat kering,” sambungnya.
Aku tersenyum senang. Senang sekali rasanya.
“Tapi, apa aku bisa? Bagaimana caranya?” Semangatku mulai padam kembali.
“Pasti bisa,” jawab Vincent yakin. “Buktikan jati dirimu yang lain, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya,” “Kenapa kau tidak ikut OSIS saja?” usul Vincent kembali.
“OSIS?! E.. aku tidak yakin,” jawabku langsung.
“Coba saja dulu. Percayalah pada dirimu sendiri!”
“Aku.. Aku.. Aku berjanji tidak akan mengecewakan sahabat terbaik yang pernah kumiliki, yang selalu memberiku nasihat! Terimakasih banyak!” Kata-kata itu tiba-tiba saja langsung meluncur dari mulutku, bukan tapi dari hatiku. Kupandang mata Vincent sedikit berkaca-kaca setelah aku mengucapkan itu.
“Terimakasih juga sudah mau menganggapku sahabatmu dengan tulus,” ujar Vincent.
“Sekarang kamu yang bercerita, Vincent”
“…. Tidak ada, hanya ingin menanyakan soal OSIS saja. Haha..,”
Vincent mulai mengajariku banyak hal. Aku mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sesekali kami bercanda lalu tertawa bersama.
“Vincent, sebelumnya maaf kalau gara-gara aku kamu ikut dijauhi seperti saat dansa kemarin, sekarang ini juga,” kulihat beberapa anak di kelas Vincent memandangi kami sambil mencibir.
“Tidak… seharusnya... aku yang minta maaf,” katanya terbata-bata.
Aku kembali memandangnya dengan heran. Bel masuk berbunyi memaksaku segera kembali ke kelas karena setelah ini ada ulangan. Aku bermaksud menanyai Vincent waktu istirahat berikutnya, namun saat kutanyai dia hanya menjawab bukan apa-apa.
Aku tidak pernah tahu apa yang dipikirkannya, yang kutahu kami akan bersahabat selamanya meskipun diantara kami banyak sekali perbedaan.
b'sambung...

Game For Indonesia (II)





Ini sketsa karakter yang kubuat, masih memakai gaya Jepang namun pakaiannya saya ambil dari beberapa baju adat.





Game For Indonesia



“Wow” Itulah kalimat pertama yang muncul saat saya lihat tampilan gambar virtual pada layar kaca. Menarik, penuh dengan fantasi dan seru. “Final Fantasy VII”, kakak saya sedang memainkan Game tersebut dengan PS I nya. Waktu itu saya yang masih SMP kelas I langsung menyukainya. Game “Final Fantasy” buatan “Squaresoft” adalah game pertama yang membuat saya sangat menyukai Game apapun sampai sekarang.

Cita-cita saya yang dulunya ingin menjadi professor dan biarawati berubah. Cita-cita tetap saya sekarang adalah saya ingin menjadi pembuat game Indonesia yang terkenal sampai menjadi legenda seperti “Final Fantasy”! Dulunya sih hanya ingin berkerja di perusahaan “Squaresoft” namun setelah mencelikkan mata terhadap budaya Indonesia yang super menarik dan bermacam-macam kalau menurutku, kenapa tidak membuat Game tentang Indonesia?

Sejak itu saya berusaha mencari berbagai sumber tentang Indonesia, walau saya sendiri orang Indonesia. Mulai dari Atlas dan buku sumber lain sampai internet saya explore tentang budaya-budayanya dan… lahirlah karakter bernama “Honai”. “Honai” adalah karakter pertama yang saya buat untuk Game PS I () karena waktu itu masih terkenal PS I nya. Meskipun desain orangnya masih mengikuti gaya Jepang. Game ini berlatar di Indonesia, begini ceritanya…

Di masa depan entah kenapa seluruh flora dan fauna di Indonesia memberontak. Mereka bisa berpikir seperti manusia kebanyakan. Mereka berubah menjadi buas dan bisa berbuat semaunya mulai dari darat, air dan udara. Mereka tersebar sesuai habitat mereka masing-masing. Indonesia berubah kelam. Para flora dan fauna ingin membalas dendam atas perbuatan masyarakat moderen terhadap mereka selama ini. Mereka berencana memberikan penyiksaan baik fisik maupun mental seperti yang mereka alami kepada masyarakat moderen. Mereka juga mengeblok seluruh jalan keluar dari Indonesia dengan cara merusak seluruh peralatan komunikasi dan transportasi. Mereka tidak ingin membunuh, hanya ingin menyiksa pelan-pelan. Masyarakat moderen hanya bisa berharap kepada masyarakat tradisional, hanya mereka yang tidak diganggu oleh flora dan fauna yang mengamuk. Awalnya masyarakat tradisional tidak peduli, mereka menganggap semua memang salah masyarakat moderen dan mereka pantas dihukum. Masyarakat moderen benar-benar hidup dalam ketakutan. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama sampai ada seorang anak perempuan dari Indonesia bagian timur yang berniat membantu mereka karena teringat masalalunya pernah ditolong oleh seorang masyarakat moderen yang dia panggil “dokter” saat masih kecil. Anak perempuan itu bernama “Honai”. Dia yakin tidak semua masyarakat moderen itu jahat. Honai dapat berkomunikasi dengan alam, seperti kebanyakan masyarakat tradisional lainnya. Dia percaya soal raja-raja para binatang di setiap pulau. Para tetuanya mengatakan bahwa di setiap pulau terdapat raja para binatang yang berkuasa mengendalikan mereka. Raja binatang yang paling berkuasa di Indonesia adalah “Garuda”. Tapi tidak ada yang tahu dimana mereka sekarang, mereka telah hilang tanpa jejak berabad-abad yang lalu. Semua percaya kalau para raja binatang telah menjadi roh yang bisa dipanggil. Semangat Honai bertambah setelah dia berhasil menyakinkan dan mengajak raja binatang di pulau Papua tinggal, yaitu “burung Cendrawasih”. Bersama burung Cendrawasih dan peliharaan kesayangannya “Ular” mereka berjuang mengajak para raja binatang yang lain juga burung Garuda, serta mengajak masyarakat tradisional lain di seluruh pulau. Petualangan dimulai dari Sabang, Honai sendiri tidak ingat kenapa dia bisa pindah dari Merauke ke Sabang. Nah, untuk memanggil roh burung Garuda, mereka harus mengumpulkan “bintang”, “kepala banteng”, “kapas”, “padi” dan “pohon beringin” yang tersembunyi di beberapa daerah.

Karena zaman yang terus berkembang saya mulai berpikir pasti PS I akan sudah ditinggalkan. Oleh karena itu, dengan mengambil topik pemberontakan yang sama dan beberapa “monster” saya memutuskan lebih fokus ke Game Online. Di sini ada 2 macam pilihan “masyarakat moderen” atau “masyarakat tradisional” keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masingh-masing. Misal kalau tradisional weaponnya mudah didapat tapi attacknya setengah dari moderen , sedang weapon moderen susah didapat namun attacknya kuat. Begitulah..

Dalam menempuh cita-citaku ini banyak sekali hambatan, mulai dari orang terdekat juga diri sendiri. Saya sadar kemampuan saya tidak begitu di TI karena itu saya lebih memilih mendesainnya, untuk pemograman saya berharap mendapat patner yang mempunyai cita-cita seperti saya (‘^w^)
Keinginanku mati sejenak, kemudian dibangkitkan oleh kehadiran komik Indonesia, yaitu “ALIA” di salah satu majalah desain “Babyboss”. Desainnya super keren dan kreatif, ceritanya juga sangat menarik. Yang saya ingat adalah perinya yang memakai baju adat Jawa Tengah dan Buto Ijo (mungkin). Pokoknya subarashii (luar biasa)!!

Generasi muda zaman sekarang kebanyakan seperti tidak peduli lagi dengan Indonesia, mereka lebih menyukai budaya dari luar terutama Jepang. Itu tidak salah, saya sendiri juga menyukai Jepang bahkan sangat.
Saya suka Gamba Osaka, Manga Naruto, IC 21, dll, Cosplay, bahasanya dan siluman serta monster buatan Jepang itu favorit saya!
Saya ingin sekali mengalahkan Game buatan Jepang yang keren sekali itu, saya kagum dengan Jepang karena itu ingin sekali aku buktikan budaya Indonesia tidak kalah dengan Jepang!! Ayo, generasi muda jangan sampai budaya Indonesia yang luar biasa ini hilang ditelan zaman bagaimanapun caramu!! \(‘^o^)/

Monday 20 April 2009

Tikus Si Koruptor?

Suatu hari ada seorang anak kecil melihat mamanya di dapur sedang memeriksa perangkap tikus yang sudah dipasang sehari sebelumnya. Si anak mendengar suara mendecit dari perangkap tikus tadi, ternyata ada seekor tikus yang tertangkap. Tikus itu berlari-lari mengelilingi perangkap sambil terus berdecit, kelihatannya tikus itu ketakutan. Menyaksikan hal tersebut si anak merasa kasihan dia lalu bertanya kepada mamanya,

"Ma, tikusnya kasihan kok tidak dilepaskan aja?"
"Jangan sayang nanti kalau dilepas tikusnya kembali mencuri makanan di dapur," jawab mamanya lembut.

Si anak memandangi tikus itu tadi dengan iba, lalu dia bertanya lagi kepada mamanya,
"Ma, memangnya tikusnya tidak bisa bertobat ya, ma? Siapa tahu nanti tidak akan mencuri lagi,"
Mamanya hanya menggeleng sambil tersenyum.
"Pantas koruptor digambarkan tikus ya, ma?" tanya anak itu setelah beberapa saat dengan pandangan yang tidak lepas dari si tikus.

Sang mama kembali tersenyum mendengar perkataan anaknya.

Saturday 4 April 2009

He who's beside me

Suatu hari ada seorang anak yang sedang merenungi sesuatu sambil tidur di bawah pohon yang rindang, di lembah yang sunyi. Dia bertanya-tanya siapa yang selalu berbicara kepadanya dan selalu menghiburnya padahal tidak ada orang di sampingku. dia lalu memejamkan mata dan mengingat-ingat kembali masa lalunya.

Dia ingat waktu SD dia ingin sekali bunuh diri dengan membenamkan wajahnya ke bantal supaya tidak bisa bernafas atau membenturkan kepalanya ke tembok dan ingin rasanya menjadi gila. Itu semua karena dia mempunyai masalah dengan kakaknya sendiri, kakak yang selalu dia sebut iblis. Tidak ada yang bisa membuatnya tenang, bahkan orangtuanya sendiri pun. Namun di dalam kekelaman itu ada yang selalu menghiburnya dalam hati dan dia tidak jadi bunuh diri.

Waktu dia beranjak dewasa, dia teringat pernah mengalami sial beruntun yang hampir mencelakainya batin dan fisik. Dia benar-benar kecewa, sedih dan marah, dia tidak mampu membicarakan hal itu kepada orangtuanya, dia lebih senang memendamnya sendiri. Namun di dalam keterpurukan itu lagi-lagi ada yang selalu menghiburnya, membuatnya tertawa lagi juga membuatnya lebih bersyukur.

Kemudian dia mulai ingat kejadian beberapa hari lalu. Ketika itu dia sakit, sakit terus sudah sembuh kemudian dia sakit lagi. Sampai suatu ketika orangtuanya berkata kepadanya
"Kok kamu sering sakit-sakitan itu bagaimana padahal temanmu yang sering pergi keluar-keluar tetap sehat?"
Dia tahu sebenarnya orangtuanya itu tidak bermaksud apa-apa menanyakan hal seperti itu, tapi baginya hal itu menyakitkan. Dia kembali sedih dan menyalahkan diri juga hampir menyalahkan Tuhan. Namun dalam keputusasaan itu kembali ada yang menghiburnya dan dia menjadi lebih bersyukur dari sebelumnya.

Dia membuka matanya kembali dan memandang langit yang biru..
Teman khayalan, kah? Setan, kah? atau...

Dia lalu bangkit berdiri dan berteriak..
"Kau lah itu, Tuhan!!! Terimakasih selalu ada didalamku!
 Dia memandang terus ke langit lalu dia seakan melihat bayangan Tuhan yang sedang tersenyum padanya.

The End..

Papua's Blackforest (I)


“Inikah aku?” kupandang diriku di cermin. Rambut kribo, kulit hitam legam, hidung besar agak pesek. Kalau dibayangkan pasti yang muncul adalah sosok orang Papua/ Afrika. Aku memang orang Papua asli. Awalnya aku senang-senang saja dengan fisikku, sampai aku harus pindah ke kota ini.

“Papua, kamu sudah selesai berganti, sayang? Cepatlah atau kita akan terlambat ke pesta!” teriak mama dari luar kamar.

Lamunanku segera buyar. “Iya, ma!” jawabku. Selain ras ku orang Papua namaku juga Papua. Aku tetap bangga dengan namaku, nama yang menjelaskan tempat kelahiranku yang terkenal dengan SDA dan budaya bakar batunya itu.

Hah, hari ini adalah hari pesta, pesta yang dimaksud adalah pesta yang diadakan oleh sekolah baruku, pesta penerimaan murid baru. Semua orangtua murid, guru dan karyawan juga diundang.
Sekarang ini aku duduk di kelas 1 SMA atau sekarang sering disebut kelas X. Seharusnya ini menjadi pesta pertama dalam hidupku, namun semuanya menjadi malas. Bagaimana tidak? Waktu pertama masuk sekolah aku sudah dijauhi semua anak gara-gara aku berbeda dari yang lain. Setiap kali aku lewat di depan mereka atau seruangan bersama mereka pasti semuanya saling berbisik sambil memandangku lalu tertawa. Membuat kesal saja. Aku jadi malas ke sekolah, malas bertemu semuanya.

Kupandang dress merah ceri lengkap dengan pita rambut merah. Seharusnya aku memakainya ke pesta, tapi... Yang benar saja, kulitku yang hitam harus memakai gaun merah seperti ini. Aneh!! Atau orang sini bilang “Norak!!” tapi karena aku tidak ingin mengecewakan mamaku terpaksa kupakai gaun itu. Terserah semua anak berkata apa yang penting berbakti dulu.

Pesta diadakan di lantai 2 yaitu aula sekolah yang benar-benar luas. Saat kami datang ternyata ruang pesta sudah di penuhi banyak orang. Kedua orangtuaku langsung dengan mudahnya berbaur bersama orangtua murid lainnya dan para guru. Sedang aku lebih memilih duduk di belakang, di tempat yang paling sepi.

“Eh, Kribo norak!” ejek seorang anak saat melihatku. Anak-anak yang lain juga mengejekku dengan pelan. Aku tidak pernah memberitahu kedua orangtuaku, terutama papa. Kami pindah karena urusan pekerjaan papa, aku tidak mau papa terganggu pekerjaannya. Aku pura-pura tidak melihat dan mendengar, walau demikian rasanya sakit sekali diejek seperti itu. Kulihat di sekitar barisan tempat dudukku juga ada seorang murid yang duduknya paling pojok, dia masih berbincang dengan seorang kakek di sampingnya.

Alunan musik dansa mulai terdengar, anak-anak yang tadi mengejekku mulai tidak memperdulikan aku lagi mereka sibuk mencari pasangan dansa. Mulai dari yang tua sampai yang muda berdansa di tengah aula. Karena bosan aku memutuskan pergi ke beranda. Kurasakan dinginnya angin yang berhembus. Selintas bayangan mereka yang mengejekku mulai muncul. Hatiku kembali sakit membayangkannya.

“Mau dansa?” kata suara dari belakangku. Kuhapus airmataku yang mulai keluar, segera kutoleh ke arah belakang. Ternyata anak yang tadi duduk paling pojok dengan seorang kakek. Dia tersenyum ke arahku lalu mengulurkan tangannya. Wajahnya memang terlihat pucat, tapi tidak bisa menyembunyikan ketampanannya. Baru kali ini ada anak yang mau mengajakku berbicara dan tersenyum dengan ramah.

“Tapi aku tidak bisa,” jawabku ragu karena tidak pernah berdansa sebelumnya.
“Tidak apa,” balasnya singkat.

Saat menuju ke lantai dansa kejadian tidak mengenakkan itu terulang lagi. Semua anak menjauhi kami. Sebegitunya kah mereka tidak menyukaiku?
Langsung kulihat ekspresinya diam-diam, dia pasti bingung. Namun ternyata ekspresinya biasa-biasa saja, dia mulai mengajariku berdansa.

Rasanya susah sekali. Tinggi kami berbeda sekali, aku hanya sebahunya saja.
Perlahan-lahan setelah aku mulai bisa, dia mengajakku berbicara.

“Kau kelas X ya? tanyanya. Aku hanya mengangguk sambil terus mengawasi langkahku karena takut menginjak kakinya.
“X-5. Kamu?” tanyaku kembali.
“XI-IA3.” Jawabnya.
“Siapa namamu?” “Siapa nama kakak?” Kami bertanya secara bersamaan.
“Papua” jawabku.
“Vincent. Papua nama yang bagus.” Katanya.

Begitu mendengarnya aku langsung terpana baru kali ini juga.
“Terimakasih, kak.” Kataku segera.
“Panggil saja Vincent.”
“Tapi kakak kan senior.”
“Tidak apa lagipula aku belum pernah mempunyai teman yang memenggilku seperti itu.” Dia lalu tersenyum.

Mungkin dia mempunyai panggilan lain , begitu pikirku.
“Kakak bersama orangtua ya?” tanyaku.
Duh, bodoh itu kan pasti, kenapa lagi masih kupanggil kakak batinku.
“Tidak.” Jawabnya tenang.
“Eh? Maksudnya?” tanyaku.
“Kedua orangtuaku sudah meninggal sejak aku masih kecil. Aku ke sini bersama kakekku.” Dia masih tersenyum.
“Maaf, aku turut bersimpati.” Kucari sosok seorang kakek yang tadi kulihat. Dia masih tetap duduk di pojok sendirian.

Pesta dansa yang tadinya menyebalkan dan membosankan berubah menjadi menyenangkan sejak bertemu Vincent. Pesta dansa sudah berakhir, namun demikian aku yakin pertemanan ini tidak akan berakhir.

Bersambung……