Tuesday 21 April 2009

Papua's Blackforest (II)


Hari esok datang begitu pula dengan semangatku yang telah hilang kini mulai bangkit. Ini mungkin gara-gara Vincent. Aku mulai berangkat lebih awal seperti biasa diantar Pak Suplir, supir keluarga kami yang setia. Pak Suplir juga selalu menghiburku bila sedang sedih akibat ulah teman-temanku.

Sesampainya di sekolah segera kulangkahkan kakiku menuju kelas XI-IA3 kelasnya Vincent. Kosong, hanya meja-kursi yang ada. Kulihat sekelilingku tidak ada orang sama sekali. “Plak” kupukul dahiku pelan setelah melihat jam dinding baru menunjukkan pukul 06.00. Aku berangkat terlalu pagi. Untuk menghabiskan waktu kubaca buku Biologi bab “Virus” di kelasku X-5. Karena terlalu asyik membaca aku tidak mendengar bel masuk sudah berbunyi mendadak kelas sudah dipenuhi anak-anak. Belum bisa menemui Vincent deh batinku.

“Papua, bisa tolong Ibu ambilkan buku di kantor guru?” pinta Bu Maria guru yang mengajar pelajaran pertama di kelasku.
Sebenarnya aku malas harus melewati kelas-kelas lain untuk ke kantor guru, tapi karena kembali teringat Vincent kuterima perintah Bu Maria dengan senang hati. Ketika melewati kelas XI-IA3 pandanganku langsung tertuju ke salah satu anak yang duduk sendiri di pojok belakang dekat jendela. Anak itu tidak lain adalah Vincent. Menurutku Vincent pasti orang yang pendiam dan penyendiri, dia lebih senang duduk sendiri.
“Hai,” sapaku saat kutemui dia di kelasnya waktu istirahat. Vincent terlihat senang sekali, tanpa banyak bicara dia langsung menyuruhku duduk di bangku sebelahnya yang kosong.
“Kenapa kamu duduk sendiri?” kulihat ada beberapa anak yang duduknya juga sendiri.
“Ingin sendiri saja,” jawabnya.
Entah kenapa rasanya aku ingin menceritakan semua masalahku kepada orang yang baru kukenal kemarin ini. Aku merasa percaya sekali pada Vincent.
“Vincent” “Papua” Lagi-lagi kami berbicara secara bersamaan.
“Kau dulu saja,” kata Vincent menyilahkan.
“Ehm, baiklah. Aku.. aku.. merasa dikucilkan di sini,” kataku terbata-bata.
“Semua mengejekku hanya karena aku berbeda dari yang lain. Memang apa salahnya dengan orang Papua, kan sama-sama orang Indonesia. Mereka menyebalkan seakan-akan menanggap dirinya yang paling sempurna. Kulit putih, hidung mancung, rambut lurus apa mereka melihat seseorang dari fisiknya dulu? Aku benar-benar kesepian tidak mempunyai teman sama sekali dan hampir putus harapan saat di sini. Sekarang pun mereka masih seperti itu kemarin aku diejek kribo norak, apa aku sejelek itu?” suaraku mulai mengecil. Kulirik Vincent sebentar, dia mendengarkan dengan seksama.
“Dikucilkan..itu memang menyakitkan,” suaranya ikut mengecil. Sekejap kulihat wajahnnya juga terlihat sedih.
“Ehm, kalau jadi kamu pasti enak tidak pernah diperlakukan seperti itu. Dimana-mana orang timur seperti kami kadang diremehkan,” keluhku sambil tersenyum sedikit.
“Siapa bilang?” Tanya Vincent spontan. “Kalau boleh jujur dari kecil aku sudah sangat menyukai Papua. Menurutku alam di Papua menakjubkan penduduknya mau merawatnya tidak seperti di sini, selain itu orang-orangnya pintar mengenali alam, adatnya juga menarik. Aku paling suka budaya “Bakar Batu” Sayangnya sekarang ini di Papua sering terjadi kerusuhan padahal aku sudah bercita-cita ingin pindah ke Papua. Aku ingin sekali melihat salju di puncak Gunung Jaya Wijaya.” Aku terkejut mendengar kata-kata Vincent.
“Ya, memang sedih rasanya. Aku hanya bisa berdoa semoga di sana kembali damai,” kataku.
“Kau tidak jelek saat memakai gaun merah. Kau seperti… Black Forest, hitam manis dengan ceri,” Vincent tertawa sebentar. Aku hanya melihatnya dengan heran. “Rambut kribo seperti itu juga punya manfaat, kan saat kau berenang rambutmu cepat kering,” sambungnya.
Aku tersenyum senang. Senang sekali rasanya.
“Tapi, apa aku bisa? Bagaimana caranya?” Semangatku mulai padam kembali.
“Pasti bisa,” jawab Vincent yakin. “Buktikan jati dirimu yang lain, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya,” “Kenapa kau tidak ikut OSIS saja?” usul Vincent kembali.
“OSIS?! E.. aku tidak yakin,” jawabku langsung.
“Coba saja dulu. Percayalah pada dirimu sendiri!”
“Aku.. Aku.. Aku berjanji tidak akan mengecewakan sahabat terbaik yang pernah kumiliki, yang selalu memberiku nasihat! Terimakasih banyak!” Kata-kata itu tiba-tiba saja langsung meluncur dari mulutku, bukan tapi dari hatiku. Kupandang mata Vincent sedikit berkaca-kaca setelah aku mengucapkan itu.
“Terimakasih juga sudah mau menganggapku sahabatmu dengan tulus,” ujar Vincent.
“Sekarang kamu yang bercerita, Vincent”
“…. Tidak ada, hanya ingin menanyakan soal OSIS saja. Haha..,”
Vincent mulai mengajariku banyak hal. Aku mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sesekali kami bercanda lalu tertawa bersama.
“Vincent, sebelumnya maaf kalau gara-gara aku kamu ikut dijauhi seperti saat dansa kemarin, sekarang ini juga,” kulihat beberapa anak di kelas Vincent memandangi kami sambil mencibir.
“Tidak… seharusnya... aku yang minta maaf,” katanya terbata-bata.
Aku kembali memandangnya dengan heran. Bel masuk berbunyi memaksaku segera kembali ke kelas karena setelah ini ada ulangan. Aku bermaksud menanyai Vincent waktu istirahat berikutnya, namun saat kutanyai dia hanya menjawab bukan apa-apa.
Aku tidak pernah tahu apa yang dipikirkannya, yang kutahu kami akan bersahabat selamanya meskipun diantara kami banyak sekali perbedaan.
b'sambung...

No comments:

Post a Comment