Saturday 4 April 2009

Papua's Blackforest (I)


“Inikah aku?” kupandang diriku di cermin. Rambut kribo, kulit hitam legam, hidung besar agak pesek. Kalau dibayangkan pasti yang muncul adalah sosok orang Papua/ Afrika. Aku memang orang Papua asli. Awalnya aku senang-senang saja dengan fisikku, sampai aku harus pindah ke kota ini.

“Papua, kamu sudah selesai berganti, sayang? Cepatlah atau kita akan terlambat ke pesta!” teriak mama dari luar kamar.

Lamunanku segera buyar. “Iya, ma!” jawabku. Selain ras ku orang Papua namaku juga Papua. Aku tetap bangga dengan namaku, nama yang menjelaskan tempat kelahiranku yang terkenal dengan SDA dan budaya bakar batunya itu.

Hah, hari ini adalah hari pesta, pesta yang dimaksud adalah pesta yang diadakan oleh sekolah baruku, pesta penerimaan murid baru. Semua orangtua murid, guru dan karyawan juga diundang.
Sekarang ini aku duduk di kelas 1 SMA atau sekarang sering disebut kelas X. Seharusnya ini menjadi pesta pertama dalam hidupku, namun semuanya menjadi malas. Bagaimana tidak? Waktu pertama masuk sekolah aku sudah dijauhi semua anak gara-gara aku berbeda dari yang lain. Setiap kali aku lewat di depan mereka atau seruangan bersama mereka pasti semuanya saling berbisik sambil memandangku lalu tertawa. Membuat kesal saja. Aku jadi malas ke sekolah, malas bertemu semuanya.

Kupandang dress merah ceri lengkap dengan pita rambut merah. Seharusnya aku memakainya ke pesta, tapi... Yang benar saja, kulitku yang hitam harus memakai gaun merah seperti ini. Aneh!! Atau orang sini bilang “Norak!!” tapi karena aku tidak ingin mengecewakan mamaku terpaksa kupakai gaun itu. Terserah semua anak berkata apa yang penting berbakti dulu.

Pesta diadakan di lantai 2 yaitu aula sekolah yang benar-benar luas. Saat kami datang ternyata ruang pesta sudah di penuhi banyak orang. Kedua orangtuaku langsung dengan mudahnya berbaur bersama orangtua murid lainnya dan para guru. Sedang aku lebih memilih duduk di belakang, di tempat yang paling sepi.

“Eh, Kribo norak!” ejek seorang anak saat melihatku. Anak-anak yang lain juga mengejekku dengan pelan. Aku tidak pernah memberitahu kedua orangtuaku, terutama papa. Kami pindah karena urusan pekerjaan papa, aku tidak mau papa terganggu pekerjaannya. Aku pura-pura tidak melihat dan mendengar, walau demikian rasanya sakit sekali diejek seperti itu. Kulihat di sekitar barisan tempat dudukku juga ada seorang murid yang duduknya paling pojok, dia masih berbincang dengan seorang kakek di sampingnya.

Alunan musik dansa mulai terdengar, anak-anak yang tadi mengejekku mulai tidak memperdulikan aku lagi mereka sibuk mencari pasangan dansa. Mulai dari yang tua sampai yang muda berdansa di tengah aula. Karena bosan aku memutuskan pergi ke beranda. Kurasakan dinginnya angin yang berhembus. Selintas bayangan mereka yang mengejekku mulai muncul. Hatiku kembali sakit membayangkannya.

“Mau dansa?” kata suara dari belakangku. Kuhapus airmataku yang mulai keluar, segera kutoleh ke arah belakang. Ternyata anak yang tadi duduk paling pojok dengan seorang kakek. Dia tersenyum ke arahku lalu mengulurkan tangannya. Wajahnya memang terlihat pucat, tapi tidak bisa menyembunyikan ketampanannya. Baru kali ini ada anak yang mau mengajakku berbicara dan tersenyum dengan ramah.

“Tapi aku tidak bisa,” jawabku ragu karena tidak pernah berdansa sebelumnya.
“Tidak apa,” balasnya singkat.

Saat menuju ke lantai dansa kejadian tidak mengenakkan itu terulang lagi. Semua anak menjauhi kami. Sebegitunya kah mereka tidak menyukaiku?
Langsung kulihat ekspresinya diam-diam, dia pasti bingung. Namun ternyata ekspresinya biasa-biasa saja, dia mulai mengajariku berdansa.

Rasanya susah sekali. Tinggi kami berbeda sekali, aku hanya sebahunya saja.
Perlahan-lahan setelah aku mulai bisa, dia mengajakku berbicara.

“Kau kelas X ya? tanyanya. Aku hanya mengangguk sambil terus mengawasi langkahku karena takut menginjak kakinya.
“X-5. Kamu?” tanyaku kembali.
“XI-IA3.” Jawabnya.
“Siapa namamu?” “Siapa nama kakak?” Kami bertanya secara bersamaan.
“Papua” jawabku.
“Vincent. Papua nama yang bagus.” Katanya.

Begitu mendengarnya aku langsung terpana baru kali ini juga.
“Terimakasih, kak.” Kataku segera.
“Panggil saja Vincent.”
“Tapi kakak kan senior.”
“Tidak apa lagipula aku belum pernah mempunyai teman yang memenggilku seperti itu.” Dia lalu tersenyum.

Mungkin dia mempunyai panggilan lain , begitu pikirku.
“Kakak bersama orangtua ya?” tanyaku.
Duh, bodoh itu kan pasti, kenapa lagi masih kupanggil kakak batinku.
“Tidak.” Jawabnya tenang.
“Eh? Maksudnya?” tanyaku.
“Kedua orangtuaku sudah meninggal sejak aku masih kecil. Aku ke sini bersama kakekku.” Dia masih tersenyum.
“Maaf, aku turut bersimpati.” Kucari sosok seorang kakek yang tadi kulihat. Dia masih tetap duduk di pojok sendirian.

Pesta dansa yang tadinya menyebalkan dan membosankan berubah menjadi menyenangkan sejak bertemu Vincent. Pesta dansa sudah berakhir, namun demikian aku yakin pertemanan ini tidak akan berakhir.

Bersambung……

No comments:

Post a Comment